Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Agar Film ‘Nussa dan Rara’ Nggak Dibacotin Denny Siregar Lagi



BACANEWS.ID - Sutradara Angga Sasongko perlu serius menanggapi bacot Denny Siregar. Anu, biar film “Nussa dan Rara” nggak bermasalah nantinya.

Mungkin karena kehabisan isu-isu politik karena semakin banyak oposisi yang merapat ke istana, Denny Siregar yang cerdas pun tiba-tiba menyerang film Nussa dan Rara. Film yang ditargetkan akan tayang di bioskop dalam waktu dekat.

Semua ini diawali dengan gaya khas cuitan Denny Siregar yang tanpa tedeng aling-aling menuduh bahwa Nussa dan Rara dibidani oleh Felix Siauw. Tokoh yang aktif di organisasi HTI, organisasi terlarang di Indonesia.

Saya pikir, ketika Denny Siregar menuduh kayak begitu, blio bakal kasih data penguat yang keren macam data-data intelejen. Entah data survei, data CIA, atau data Treadstone yang ternyata menyebut kalau kaki palsu Nussa itu ternyata diimpor dari ISIS misalnya.

Sayang seribu sayang, rupa-rupanya bukti tuduhan Denny Siregar itu cuma pada model bajunya Nussa doang. Buset, gitu doang? Ealah buajilak. Tiwas geger, Ngab.


Dari sekian banyak aspek-aspek prinsipil yang menganggu ideologi negara dan persoalan Bhineka Tunggal Ika, seorang Denny Siregar cuma fokus mempersoalkan pilihan pakaian dari seorang tokoh kartun bernama Nussa? Pfft.

Yak, kamu nggak salah baca, si Denny ini nuduh bahwa bajunya Nussa ini model gurun pasir. Dan karena sudah diasosisasikan sebagai pakaian gurun pasir, maka secara umum, pakaian itu tidak selayaknya dipakai oleh karakter kartun seorang anak.

Tentu ini bikin kita bertanya-tanya dong. Oke deh, kita amini dulu itu pakaian gurun pasir, lah terus emang kenapa? Nggak boleh ya? Apa kalau anak-anak pakai pakaian gurun pasir begitu anak kita auto-radikal dan tidak loyal terhadap PDI NKRI?

Padahal ya Mas Denny, kalau situ ngomongin baju gurun pasir, yang masuk di pikiran saya justru gaya berpakaian setil khas Brendan Fraser dalam film The Mummy jeh. Jadi kenapa gurun pasir harus diasosiasikan jadi sesuatu yang negatif? Aneh banget dah.

Maksud saya, ealah kalau selo mbok ya jangan selo-selo banget. Apalagi Angga Dwimas Sasongko selaku sutradara juga sudah menjelaskan bahwa film ini tidak melibatkan tokoh agama sama sekali. Ini film anak-anak kok.

Bahkan skenario film Nussa dan Rara ini digarap Skriptura, Divisi IP Development Visinema Group, produksi animasinya oleh The Little Giantz, dan distribusi serta promosinya oleh Visinema Pictures.

Kurang jelas, Mas Denny? Nggak ada ISIS-ISIS-nya sama sekali kok dah. Tenang.

Yang saya tahu sih Anda gabut karena nggak ada kontestasi pemilu lagi, sekaligus oposisi sedang tepar, tapi mbok ya jangan gabut-gabut banget ngurusin baju Nussa di film Nussa dan Rara. Ini seperti saya yang pengangguran, tetapi muntab sama bajunya SpongeBob dan Plankton.

Meski begitu, sebagai warga negara yang baik, sudah tentu keresahan Mas Denny Siregar ini perlu dijawab dengan jelas. Oleh karena itu, demi kelancaran film Nussa dan Rara ini, saya berikan usulan untuk Angga Dwimas Sasongko agar nggak dibacotin Denny Siregar lagi.

Oke yok.

Pertama, Mas Angga Sasongko mungkin perlu mengganti motif busana Nussa dan Rara di film itu. Tetep gamis, tapi motifnya aja yang diganti. Misalnya diganti dengan motif kotak-kotak warna merah. Biar dikira bukan ekstremis gitu.

Pakaian ini juga bagus sebagai pengingat untuk Nussa, kalau dapat amanah itu mohon diselesaikan sampai tuntas. Kalau dapat PR dari guru, diselesaikan, jangan malah cari tugas lain.

Kalau mau kasih kepercayaan ke teman, jangan pilih-pilih semata-kata karena ada motif balas jasa. Kalau ketahuan maling duit kas kelas, jangan malah disembunyiin ramai-ramai. Juga sebagai pengingat, agar jangan demen berkomplot dalam hal kejahatan.

Korupsi dana bantuan misalnya. Eh.

Lanjut, lanjut. Keburu ada yang nggak terima nanti.

Oke, kedua. Pakai sarung seperti apa yang dititah dalam cuitan Denny Siregar. Daripada ribet yaudah ikutin aja kemauannya. Pakaian pakaian Nussa menggunakan sarung, lantas Rara juga. Dialognya jangan menggunakan Bahasa Indonesia, tapi daerah sekalian biar menjiwai.

Ambil satu contoh daerah Bantul. Nussa setelah magriban di Masjid Nurul Hikmah nyeletuk begini sama Rara, “Masmu tak ke cakruk ya, Dek? Ditunggu Pak Dukuh mau main karambol.”

Sambil nggulung sarung, lalu berangkat ronda.

Ketiga, pakai baju kader PDI Perjuangan.

Ya itung-itung sebagai bentuk perayaan ulangtahun ke-48 PDI Perjuangan beberapa hari yang lalu. Nussa juga bakalan cocok kok pakai baju kader partai berlogo banteng ini.

Selain necis, setil, dan perlente, saya yakin Nussa juga bakalan semringah. Kapan lagi pakai baju berlogo mirip klub basket Chicago Bulls?

Masih kurang? Iya, sih, apa sih yang proposional di mata seorang buzzer senior macam Denny Siregar?

Ya sudah, begini saja, Nussa yang pakai peci bunder diganti pakai blangkon saja. Bajunya yang pakai gamis diganti pakai beskap. Lantas Rara pakai sanggul biar dicap nasionalis.

Laah, lah, malah jadi kayak cerita FTV setting di Jogja dong?

Terlepas dari itu semua, kalau saya usul untuk Mas Denny Siregar sih, mending situ sekalian bilang ke Pemerintah agar negara bisa mengatur pakaian yang boleh dikenakan rakyatnya gih.

Ngurusin kartun Nussa dan Rara beginian mah nggak segitu pengaruhnya. Yakin deh. Mending urusin juga deh pakaian kita-kita ini. Apa yang dimau Mas Denny Siregar deh. Kita ngikut kok.

Anu, sekalian sampean aja yang menentukan pakaian rakyat. Dari pakaian di kehidupan nyata, sampai pakaian di kartun. Biar kayak Kim Jong-un yang bikin aturan resmi menentukan potongan rambut nasional buat rakyatnya. Semua rakyat seragam semua ikut kata pemerintahnya. Enak banget itu.

Jadi kalau mau nuduh kelompok radikal kan asyik. Orang kayak sampean mencak-mencak sama orang radikal. Lucu aja rasanya bayangin orang nunjuk-nunjuk cermin.

Masalahnya satu: sampean punya nggak?