Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pengamat: 18 Bulan Pimpin Kemendikbud, Nadiem Cuma Bikin Gaduh Dan Gaduh


BACANEWS.ID - Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang jatuh pada hari ini, Minggu 2 Mei 2021, dihiasi dengan kesuraman pendidikan anak bangsa yang tak mendapat haknya secara maksimal selama pandemi.

Bisa dilihat dari tidak efektifnya proses pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang diterapkan dalam satu tahun terakhir. Hal ini tak lepas dari pandangan negatif pihak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) terhadap PJJ.

"Kemendikbud saat ini seakan-akan memimpin sebuah pandangan kalau belajar daring itu negatif, dalam penjelasannya semua kan seperti itu. Tidak ada tatap muka dampaknya negatif, warning lost, dan lain sebagainya," ujar pengamat Pendidikan, Indra Charismiadji, kepada wartawan, Sabtu (1/5).

"Padahal sekarang kan era digital, harusnya daring itu efektif. Kita berharap sebetulnya Kemendikbud ini yang diambil bukan dari orang pendidikan, yang dari perusahaan teknologi, kita berharap bisa membawa pola belajar Indonesia dari digital," sambungnya.

Indra pun menilai pemerintah telah gagal menerapkan PJJ. Sebab, tidak ada upaya membenahi PJJ meski telah berlangsung sekitar satu tahun.

"Saya pribadi bisa membuktikan kalau PJJ bisa efektif, tapi ya tentu caranya enggak seperti dulu, dengan cara ceramah, ngasih PR, ulangan. Sudah enggak gitu lagi," jelasnya.

Sehingga, dalam pandangan Indra, rapor kinerja Mendikbud-Ristek, Nadiem Makarim, selama 18 bulan memimpin sektor pendidikan bisa dibilang masih merah.

"Catatan kedua adalah 18 bulan Nadiem Makarim memimpin Kemendikbud yang ada adalah kegaduhan demi kegaduhan, semua kebijakannya membuat gaduh," paparnya.

Kegaduhan itu timbul karena kebijakan yang dibuat Nadiem tanpa adanya riset atau kajian akademis. Bahkan menurutnya, tidak ada pelibatan publik di setiap kebijakan itu.

"Sebetulnya kalau kita mau evaluasi kenapa buat gaduh itu ada jawabannya. Pertama, semua kebijakan beliau tidak menggunakan kajian akademis, enggak ada riset. Jadi tiba-tiba turun dari langit, tiba-tiba bikin sekolah penggerak, tiba-tiba bikin merdeka belajar, sampai sekarang enggak ada kajian akademis, kalaupun ada, enggak ditunjukkan," ucapnya.

Menurut Indra, kalau saja ada pelibatan masyarakat tidak mungkin publik memprotes kebijakan Nadiem.

Alhasil, Indra pun heran, Nadiem yang kerap membuat kebijakan tanpa riset tapi malah kembali diangkat dengan kewenangan yang bertambah, yakni mengurusi riset teknologi.

"Lebih aneh lagi dengan kondisi enggak pernah melakukan riset dalam melakukan kebijakan sekarang dikasih lagi tugas untuk urusi riset dan teknologi. Aneh menurut saya, orang yang 18 bulan membuat kebijakan tanpa riset dipercaya untuk urusi ristek. Orang yang ditugaskan membangun SDM tidak percaya kalau SDM dibangun, coba kita lihat eselon I beliau orang luar semua bukan orang dari dalam Kemendikbud sendiri," bebernya.

Indra khawatir pada 2024 yang ditargetkan mendapat bonus demografi malah menjadi bencana demografi. Hal itu disebabkan karena sistem pendidikan saat ini yang dinilai belum beres.

"Jika ini dibiarkan sampai 2024, yang kita temui adalah lost generation. Kita kan punya mimpi bonus demografi, tapi yang kita dapatkan adalah bencana demografi, 2024 enggak kelihatan tapi 2034 baru kelihatan, karena saat itu lah mereka sudah menjadi usia produktif," demikian Indra.(RMOL)