Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Orang Istana: "Sulit Atasi Pandemi Covid-19, Masalahnya Ada di Rakyat"


"Sulit Atasi Pandemi Covid-19, Masalahnya Ada di Rakyat"

Itu berita di Bisnis.com. Yang bicara Arya Sinulingga, Koordinator Komunikasi Komite Penanggulangan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN), Komisaris Telkom, dan Staf Khusus Menteri BUMN.

Bekas Juru Bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Maruf, malang melintang sebagai eksekutif di MNC Group (Hary Tanoesoedibjo), pernah membangun portal berita Verta News bersama Sakti Wahyu Trenggono (Menteri KKP)... Pokoknya keren!

Mengapa masalahnya di rakyat? Tidak patuh protokol kesehatan, memaki-maki menuding pemerintah bertindak tidak benar.

Dengan siapa dia bicara? Fadjroel Rachman, bekas aktivis antikorupsi, malang melintang sebagai komisaris BUMN. Ini juga keren dan makmur, beda dengan ketika HP dan charger-nya ketinggalan di Kantor YLBHI seusai dia jadi pembicara diskusi 15 tahunan lalu.

Survei Litbang Kompas: 40,2% masyarakat menilai PPKM tidak beda jauh dengan pembatasan sebelumnya. 49,5% masyarakat masih beraktivitas di luar rumah. 34,3% tidak yakin PPKM efektif.

Keluarga pengusaha Aceh Akidi Tio menyumbang Rp2 triliun untuk penanganan Covid-19 di Sumatera Selatan. Mereka adalah rakyat. Dengan demikian argumen generalisasi ala Koordinator Komunikasi KPC-PEN itu gugur.

Kakak Menteri BUMN Erick Thohir, Boy Thohir, pun masyarakat. Rektor UI Ari Kuncoro idem. Ruangguru (Grup Lippo) masyarakat juga.

Tapi mereka tidak sumbang Rp2 triliun. Mungkin duitnya belum banyak, mungkin ada alasan lain. Beda kalkulator hati dan angkanya.

Ruangguru adalah platform digital Prakerja yang pernah berjanji seluruh pendapatan dari program Prakerja akan disumbangkan untuk korban Covid-19. Artinya apa? 1) Dia akui bahwa ada PENDAPATAN perusahaan dari Prakerja tapi dia tidak kasih tahu berapa (dari komisi dan jualan video); 2) Dia tidak pernah merealisasikan sumbangan itu sampai sekarang.

Ari Kuncoro tidak menyumbang tapi dapat tantiem Rp10 miliar dari BRI (Laporan Keuangan 2020). Mungkin dia anggap sumbangan tak harus uang tapi juga pemikiran. Pemikiran mengubah Statuta UI, salah satunya.

Boy Thohir tidak menyumbang tapi perusahaannya dapat investasi dari Telkomsel Rp6,4 triliun (GoTo). Pun, mendapatkan semacam pemutihan retensi/piutang dari proyek pabrik amoniak Banggai dengan Rekind. Modal Rekind sekarang negatif Rp1,9 triliun, butuh uang Rp700 miliar untuk menahan cashflow. Rekind anak usaha Pupuk Indonesia, yang salah satu pendapatannya dari subsidi langsung APBN.

22 obligor BLBI juga masyarakat (mungkin ada yang sudah WNA) tapi tidak menyumbang, tidak segera dikejar bayar utang, pokok, dan bunganya juga (Rp110 triliun) SEKARANG. Jangan nanti-nanti.

Berarti ada juga masyarakat yang bermasalah selama pandemi.

Menurut Emile Durkheim, masyarakat adalah kenyataan objektif dari pribadi-pribadi yang merupakan anggotanya. Karl Marx berkata masyarakat adalah struktur yang berkembang melalui pertentangan antarkelompok yang dibedakan kepentingannya secara ekonomi.

Menggeneralisasi masyarakat sebagai sumber petaka tidak etis diucapkan pejabat negara. Sebab bobot negara dan masyarakat dibedakan secara formal. Negara adalah organisasi kekuasaan, masyarakat adalah pribadi-pribadi objektif yang diikat oleh satu kesatuan identitas.

Tanyakan, mengapa waktu terbaik menangani Covid-19 adalah 1,5 tahun lalu, ketika pemerintah anggap enteng ini barang. Tanyakan mengapa negara 'kasih' profit buat segelintir pihak lewat Prakerja dan investasi di perusahaan swasta. Tanyakan mengapa segelintir orang merangkap jabatan yang memiliki konsekuensi rangkap pendapatan.

Memaki pemerintah itu enak dan perlu. Sebab ia memiliki seluruh sumber daya kekuasaan negara. Memaki itu partisipasi. Jika ada yang tidak beres di lapangan, evaluasi kebijakannya, operasionalnya, pelaksananya, kepemimpinannya.

Presiden Jokowi adalah Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan. Di sini bobot masalah besar sebenarnya.

Betul bahwa kedisiplinan pribadi-pribadi harus ditumbuhkan dan diperkuat. Masyarakat sebenarnya memiliki adaptasi sistemnya sendiri yang bisa mendorong itu. Tapi Presiden abaikan itu dan lebih percaya kepada segelintir Don di sekitarnya untuk ambil keputusan TANPA BANYAK PARTISIPASI masyarakat. Ini gabungan antara sifat serakah dan sok tahu.

Mau bagaimana lagi. Presidennya memilih begitu.

Saya ditanya tentang sidak Presiden Jokowi ke apotek untuk menanyakan jenis obat-obatan yang namanya susah itu. Apa pendapat saya?

Saya bilang, "Sudahlah."

Dia cari obat ke apotek saja sudah perlu kita puji karena itu tepat.

Daripada dia cari ke toko semen.

Sebegitunya kita harus menurunkan standar pemimpin.

Mungkin.

Salam Salah Lagi.

(Agustinus Edy Kristiawan)