Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tak Boleh Punya Hak Milik Tanah di DIY, Warga Tionghoa 'Melawan'



BACANEWS.ID - Meski telah merdeka selama 75 tahun, aturan ‘diskrminatif’ pelayanan publik masih saja terjadi di Indonesia. Salah satunya di DIY.

Di daerah istimewa ini, WNI non pribumi khususnya warga keturunan Tionghoa ternyata tak boleh punya hak milik tanah. Aturan ini tertuang dalam Instruksi Gubernur DIY No : K.898/I/A/75 yang ditandatangani oleh Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta, Paku Alam VIII pada 5 Maret 1975.

Instruksi tentang Penyeragaman Policy pemberian hak atas tanah kepada WNI non Pribumi ini sangat “sakti”. Meski hanya sekadar instruksi yang ditujukan kepada bupati dan wali kota di DIY, namun dampaknya sungguh luar biasa. Institusi lain seperti Badan Pertanahan Nasional (BPN) tampaknya tunduk dan patuh dengan instruksi yang sebenarnya tidak mengikatnya. Buktinya sejumlah kasus penolakan BPN memproses peralihan status tanah menjadi hak milik untuk warga keturunan Tionghoa mencuat.

Instruksi No K.898/I/A/75 menurut Komnas HAM melanggar sejumlah aturan undang-undang di atasnya. Di antaranya pasal 28 ayat (2) UUD 1945, pasal 9 dan pasal 21 UU no 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Poko Agraria, Pasal 5 UU No 39 tahun 1999 tentang HAM, pasal 6 dan pasal 7 UU No 40 tentang Penghapusan Diskriminasi.

Komnas HAM juga melihat instruksi tahun 75 itu juga melanggar hak asasi manusia, diskriminatif dan seharusnya tidak ada istilah pribumi dan non pribumi. Afirmasi policy seharusnya untuk melindungi kelompok rentan seperti anak-anak, perempuan, lanjut usia dan disiabiltas, bukan pada ras.

Ombudsman Republik Indonesia (ORI) juga telah mengeluarkan rekomendasi No 0001/RM.03.02-13/0052.0079.0087.0103-2016/VII/2020 tertanggal 8 Juli 2020. Rekomendasi ini dikeluarkan setelah ORI menerima laporan dari Siput Lokasari, Willi Sebastian, Eni Kusumawati dan dan Tan Susanto Tanuwijaya. Mereka melapor ke ORI pada 2016 silam lantaran BPN menolak pendaftaran peralihan hak milik tanah yang mereka ajukan.

Kantor pertanahan BPN Kabupaten Bantul, Kabupaten Kulonprogo, Kabupaten Gunungkidul, Kabupaten Sleman dan kantor Pertanahan BPN Kota Yogyakarta menolak permohonan pendaftaran peralihan hak milik atas tanah yang diajukan para pelapor. Penolakan BPN berpedoman pada Instruksi Wakil Kepala Derah Istimewa Yogyakarta No K.898/I/A/75.

Atas laporan ini, ORI kemudian mengeluarka rekomendasi. ORI menilai BPN telah melakukan maladministrasi. ORI juga merekomendasikan agar BPN segera memproses pengajuan sertifikat SHM dari para pelapor yang merupakan WNI keturunan Tionghoa ini.

Dalam ringkasan rekomendasi itu, ORI menilai penolakan tersebut semestinya tidak perlu dilakukan. Ini mengingat tidak ada satupun ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan yang diterbitkan oleh BPN mengatur penolakan dengan merujuk pada instruksi tersebut.

Dalam rekomendasinya, ORI juga menyatakan bahwa Kantor Pertanahan BPN Bantul, Kulonprogo, Gunungkidul, Sleman dan Kota Yogyakarta telah melakukan maldaministrasi dalam bentuk diskriminasi pemberian pelayanan dan penyimpangan prosedur.

ORI juga merekomendasikan agar masing-masing kepala kantor pertanahan BPN Bantul,Kulonprogo, Kota Yogyakarta, Gunungkidul dan Kepala Kantor BPN Sleman agar menindaklanjuti penerbitan sertifikat hak milik (SHM) yang dimohonkan para pelapor. Atau dengan kata lain, BPN tidak boleh menolak permohonan sertifikat SHM yang diajukan oleh para pelapor yang notabene adalah WNI keturunan Tionghoa.

Meski banyak bertentangan dengan aturan perundang-undangan di atasnya, nyatanya instruksi K.898/I/A/75 ini benar-benar sakti mandraguna.

Dalam sebuah dokumen yang salinannya diterima iNews.id, Menteria Agraria dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional Sofyan A Djalil melalui surat No HR.01/1874/XII/2020 tertanggal 21 Desember 2020 yang ditujukan kepada Ketua Ombudsman Republik Indonesia dengan tegas menyatakan belum bisa melaksanakan rekomendasi ORI tersebut.

Dalam surat itu juga disebutkan bawah instruksi Nomor K.898/I/A/75 masih berlaku sebagai pertimbangan dalam memberikan pelayanan pertanahan di kantor pertanahan di lingkungan Pemprov DIY.

Surat yang ditandatangani Menteri Sofyan A Djalil ini substansinya tidak berbeda jauh dengan surat Gubernur DIY Sri Sultan HB X bernomor 593/02194 tertanggal 3 Agustus 2020. Surat itu ditujukan kepada Menteri Agraria dan Kepala Kantor Wilayah BPN DIY.

Meski kasus diskriminasi pertanahan ini sudah lama terjadi, namun warga keturunan Tionghoa ini seakan berjuang sendiri. Kasus ini jauh dari bahasan para penggiat anti-diskriminasi, pengiat HAM, pejuang demokrasi dan penjuang Pancasila. Sampai kapan ini akan terjadi? Tak ada yang tahu pasti.***