Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Fahd Pahdepie: Mengapa saya membela UAH dan berdiri di garis paling depan?




MEMBELA KEHORMATAN


Oleh: Fahd Pahdepie

Mengapa saya membela UAH dan berdiri di garis paling depan? Izinkan saya sedikit bercerita.

Juni 1999. Setelah melewati seleksi cukup ketat untuk bisa diterima di Pondok Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah Garut, pesantren kader ulama tarjih Muhammadiyah, 50-an santri yang lulus dikumpulkan Kiai Miskun di masjid pesantren, didampingi orangtua masing-masing. Saya duduk di antara mereka, antusias tetapi juga cemas. Akan seperti apa menjalani hari-hari sebagai santri?

"Lulusan pesantren harus menjadi sibghah, celupan, yang mewarnai masyarakat dan bangsa ini dengan nilai-nilai Islam, al-Quran, akhlak Nabi Muhammad." Pesan Kiai Miskun, "Pesantren ini ingin mencetak kader ulama yang intelektual atau intelektual yang ulama." Sambungnya. Seusai pengarahan, Kiai Miskun memanggil seorang santri kelas 3 tsanawiyah untuk tampil di mimbar. Adi Hidayat nama santri itu.

Seolah ingin menunjukkan kader terbaiknya, Kiai Miskun mempersilakan Adi Hidayat kecil berpidato. Dengan penuh percaya diri A Adi, begitu kelak saya memanggilnya, naik ke atas mimbar. Perawakannya kecil, tetapi suaranya menggelegar. Ia berdalil dengan quran, hadits, mengutip banyak referensi ilmiah, berpidato dengan retorika yang memukau. Kadang dengan bahasa Inggris di satu bagian, Bahasa Arab di bagian yang lain. Keduanya fasih.

Seluruh hadirin saat itu terpukau, berdecak kagum. Saya melongo, ibu saya meneteskan air mata. "Nanti kamu harus begitu, ya, belajarlah sama A Adi. Dekati, berguru." Pesannya. Saya mengangguk. Usia saya masih 12 tahun, terpaut dua tahun saja dari A Adi. Memori itu tercetak kuat dalam ingatan saya, apalagi pesan ibu.

Hari demi hari berlalu. Sebagai santri saya berusaha mengenal dan dekat dengan A Adi. Kadang seusai shalat berjamaah, kami duduk berdua, berhadap-hadapan, bertanya tentang apa saja. A Adi sering memberi saya nasihat, motivasi, kadang memberi saya tantangan-tantangan juga. Sebagian bisa saya penuhi, sebagian tidak. Pada saatnya kami cukup dekat. Sejak dulu banyak yang segan untuk bisa dekat dan ngobrol dengan A Adi, saya mungkin salah satu dari yang sedikit bisa mendapat kemewahan berdiskusi panjang dengannya.

Pada saatnya, saya tumbuh. A Adi menjadi salah satu role model saya, seperti nasihat ibu. Jika A Adi bisa pidato, saya harus bisa. A Adi sering menulis artikel di mading, saya harus bisa. A Adi jadi ketua Ikatan Pelajar Muhammadiyah, saya ikuti jejak berorganisasinya. A Adi juara debat bahasa, cerdas cermat, karya ilmiah, saya juga. Kami sering jadi kontingen pesantren untuk berlomba di mana-mana.

Namun, pada saatnya ada hal-hal yang tak bisa saya capai dari pencapaian A Adi. Terutama dalam bidang agama. Saat remaja beranjak dewasa, sisi kompetitif saya mengarahkan saya ke arah yang lain. Saya katakan pada diri saya, "Jika A Adi menjadi ulama yang intelektual, mudah-mudahan saya bisa menjadi intelektual yang ulama." Doa saya. Sejak saat itu, fokus saya berubah. A Adi sudah lulus dari pondok dan menjadi legenda. Di hari kelulusannya kami mengobrol, ia memberi saya banyak nasihat.

Pada saatnya, saya tumbuh seolah ke arah yang berbeda dengan A Adi. A Adi kuliah agama, saya kuliah politik. A Adi ke Libya, saya ke Australia. A Adi hadir di konferensi-konferensi Internasional di Timur Tengah, saya di Eropa dan negeri Barat lainnya. A Adi menjadi orator ulung, saya memilih menjadi penulis. A Adi menjadi ulama, saya menjadi pengusaha. Yang tak banyak orang tahu, kami selalu terhubung. Setiap kali ada waktu, saya pasti mendatanginya, meminta nasihat, duduk berdekatan seperti dulu.

Sejak lama saya menyadari bahwa saya punya seorang sahabat, kakak, dan kemudian jadi guru karena keluasan ilmunya yang tak bisa saya tandingi lagi. Cita-cita untuk menyaingi A Adi sudah saya kubur sejak lama, ia adalah guru yang akan selalu saya hormati. Bukan soal bidang yang berbeda lagi.

Kini, 25 tahun kemudian dari sejak pertama kali bertemu dan mendapatkan pesan ibu dulu, perasaan saya masih sama. Ada yang bertaut. Mungkin Allah sudah mengaturnya. A Adi akan selalu menjadi sahabat, kakak, mentor, guru saya. Kami dihubungkan oleh Darul Arqam, Muhammadiyah, dan lainnya.

Maka kapanpun, saat ia dihina, apalagi difitnah, ada yang selalu ikut terluka dalam diri saya. Saya ingat Kiai Miskun yang begitu membanggakan murid kesayangannya itu, saya ingat nasihat ibu saya, saya ingat pelajaran-pelajaran yang saya dapatkan dari A Adi hingga saya menjadi seperti hari ini. Usai i'tikaf kemarin bersamanya selama 10 hari di penghujung Ramadhan, saya katakan pada istri saya, "Saya melihat sesuatu yang besar akan terjadi pada diri UAH di kemudian hari, ia bukan hanya akan jadi ulama, tetapi juga pemimpin besar yang menggerakkan bangsa ini. Mungkin ini tugas sejarah saya untuk membersamainya, berada di belakangnya."

Hari ini ada orang-orang yang memfitnah UAH. Ada yang berusaha merendahkan harga dirinya. Ada yang membuat framing-framing jahat tentangnya. Saya bersaksi semua itu tak akan mengubah apapun dari UAH, ia akan tetap menjadi guru yang faqih, pribadi yang mulia akhlaknya. Tetapi saya harus turun membelanya, membela seorang sahabat, kakak, mentor sekaligus guru saya. Saya akan kerahkan semua yang saya bisa, semua yang saya punya.

Katanya saya ini sedang pansos, cari panggung, cari muka pada UAH. Yang lain mengingatkan jangan dekat-dekat, jangan terlalu berdiri di depan. Ada risiko-risiko tertentu untuk saya. Silakan orang berkata apa saja. Saya akan terus berusaha menjaga kehormatan guru saya. Sebisa saya, sejauh yang mungkin saya tempuh, sekuat tenaga. Yang saya pegang hanya nasihat UAH, "Selalu kedepankan akhlak. Jika yang lain menghina, kita jangan. Tunjukkan nilai-nilai terbaik dari Islam, dari al-Quran. Ini bukan tentang Adi Hidayat, kita sedang memperjuangkan sesuatu untuk bangsa ini."

Semoga perasaan kita sama. Semoga cara yang kita pilih sama. Jika orang lain menghina, kita jangan. Doakan saja. Sebab pada hakikatnya, setiap orang yang mati-matian berusaha ingin merendahkan derajat kita, tahu sebenarnya di mana derajatnya sendiri.

Bagi saya ini adalah sebuah persahabatan, persaudaraan. Jika kita bersaudara, kita tak pernah sendirian dan kesepian. Karena akan selalu ada yang mengingatkan dengan lembut, "La tahzan, wa la takhof, innallaha ma'ana."

Tabik!

[fb, 02/06/2021]