Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Membandingkan Dapur Kepresidenan era SBY dan Jokowi, Sangat Jauh Kontrasnya




𝗪𝗔𝗝𝗔𝗛 𝗗𝗔𝗣𝗨𝗥 𝗞𝗘𝗣𝗥𝗘𝗦𝗜𝗗𝗘𝗡𝗔𝗡


Oleh: 𝗧𝗮𝗿𝗹𝗶 𝗡𝘂𝗴𝗿𝗼𝗵𝗼

Di periode keduanya, untuk memback-up kerja-kerja rumah tangga kepresidenan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah membentuk UKP4 (Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan). Ini bukan lembaga kosmetik yang dibentuk sekadar untuk gaya-gayaan, atau lembaga penampungan untuk mengakomodasi para pendukungnya yang tak kebagian jabatan.

Di akhir masa jabatannya, Presiden SBY sepertinya ingin memperkuat legacy-nya. Itu sebabnya UKP4 dibentuk dengan konsep dan portofolio yang serba terukur, sesuai dengan agenda-agenda strategis yang ingin dikerjakan oleh Presiden.

Mengingat tugasnya yang tak main-main, termasuk melakukan analisis, koordinasi, fasilitasi, monitor serta evaluasi kinerja kementerian, maka UKP4 tentu saja tak bisa dipimpin oleh orang sembarangan. Lembaga ini harus dipimpin oleh orang dengan kemampuan teknokrasi, pengalaman birokrasi, serta rekam jejak profesional yang tinggi. Dan orang yang memiliki semua kemampuan itu adalah Kuntoro Mangkusubroto.

Kuntoro adalah ahli management science di ITB. Bukunya, "Analisa Keputusan: Pendekatan Sistem dalam Manajemen Usaha dan Proyek" (1987), tetap jadi referensi hingga hari ini. Saat saya kuliah, bukunya menjadi pendamping karya-karya Thomas L. Saaty mengenai 'creative decisions'.

Namun, Kuntoro bukan sekadar akademisi. Ia juga berpengalaman memimpin, membenahi, dan mengangkat sejumlah BUMN yang pernah terpuruk menjadi BUMN dengan kinerja terbaik. PT Bukit Asam, PT Timah, dan PLN pernah merasakan tangan dingin Kuntoro.

Selain itu, ia juga memiliki pengalaman birokrasi yang lengkap dan bersifat lintas kementerian. Ketika Ginandjar Kartasasmita menjadi Menteri Muda Urusan Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri (UP3DN), Kuntoro adalah salah satu staf ahlinya. Dia kemudian pernah menjadi Dirjen, deputi di BKPM, serta jadi menteri di zaman Presiden Soeharto dan Presiden Habibie.

Ketika memimpin BRR (Badan Rehabilitas dan Rekonstruksi) Aceh-Nias, reputasinya mendunia. PBB bahkan memberikan pujian istimewa atas kinerja BRR yang dipimpin Kuntoro. Dari berbagai portofolio yang dimilikinya, Kuntoro juga pernah bekerja di lingkungan Sekretariat Negara, sehingga ia pastilah memahami cara kerja dapur kepresidenan, sebuah modal penting untuk memimpin UKP4.

Melalui tangan Kuntoro, Presiden bisa mengevaluasi dan mengukur kinerja anggota kabinetnya dengan parameter-parameter obyektif. Tiap sidang paripurna kabinet, Presiden pasti memegang rapot kinerja tiap menteri dan kementerian. Ini membuat Presiden SBY tetap bisa mengontrol kabinetnya secara efektif meskipun sedang berada di periode kedua kepresidenan.

Karena dipimpin seorang teknokrat, birokrat, serta profesional yang menguasai bidangnya, UKP4 bisa bekerja secara sistematis. Agenda-agenda pemerintahan juga disusun dengan perencanaan dan kajian yang lebih saintifik. Tidak ada cerita agenda pembangunan disusun berbekal kunjungan singkat, atau bermodal keinginan-keinginan subyektif presiden.

Sayangnya, sesudah Presiden SBY selesai menjabat, lembaga dengan portofolio seperti UKP4 tidak lagi dipertahankan.

Jadi, kalau belakangan kita mendengar banyak sekali lontaran yang mempertanyakan basis saintifik pengambilan keputusan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo, terutama terkait pandemi, maka lihat saja supporting system yang dibangun oleh Presiden di dapur Istananya.

Kalau orang seperti Kuntoro masih berkantor di Istana, ia tentu tak akan sibuk mericuhi partai orang, atau sibuk mempromosikan obat cacing untuk mengatasi pandemi. Ia akan fokus membantu Presiden mengatasi persoalan dengan suplai-suplai informasi dan keputusan-keputusan stratejik.(*)

*Sumber: fb penulis (28/7/2021)