Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Dosen UI Ade Armando Menderita Inferiority Complex




SUNGGUH memprihatinkan di era milenial ini masih ada manusia kerdil, naif, tidak berdaya, dan rendah diri. Kenyataan tersebut dialami oleh seorang pendidik sebuah universitas ternama di Indonesia. Ade Armando namanya. Tampaknya, manusia yang satu ini tengah menderita inferiority complex atau kompleks inferioritas akut.

Ia menganggap dirinya lebih rendah bahkan lebih hina dari manusia di sekitarnya. Ia juga merasa agamanya tidak mampu mengatasi persoalan hidupnya. Oleh karena itu, ia benci agamanya sendiri. Kebencian itu ia umbar dan publikasikan. Namun, karena keculasannya – semua gangguan jiwa – itu ia lempar ke pihak lain. Itu cara dia agar tidak terlihat menderita penyakit yang memalukan tersebut.

Hanya karena membaca kabar ada orang Cina mau menyumbang Rp 2 triliun untuk mengatasi Pandemi Covid-19, Ade Armando langsung girang. Kegirangan itu diungkapkannya dalam bentuk penghinaan kepada kaum muslim pribumi. “2 Triliun rupiah lho, bukan 2 milyar uang semua gak pake pasir. Ini satu lagi tambahan contoh untuk menantang kelompok-kelompok muslim pribumi yang selalu menjelekkan Tionghoa. Saya mau bilang ini sumbangan pengusaha Tionghoa, mana sumbanganmu?” Demikian cuitan dosen yang gagal meraih gelar profesor itu.

Dia pikir tidak ada umat Islam dan pribumi yang dermawan. Ia minder. Padahal kedermawanan pribumi dan umat Islam sungguh nyata, tidak perlu publikasi. Islam mengajarkan kedermawanan tidak perlu digembar-gemborkan.

Ibaratnya, jika tangan kanan memberi, tangan kiri tidak perlu tahu. Mulia sekali. Tetapi, tidak salah juga disebutkan contoh Muhammadiyah yang telah menggelontorkan uang umat Rp 1 triliun (satu triliun rupiah) dalam membantu menangani pandemi Coronadisease 2019 (Covid-19). Itu bukan angka fiktif apalagi ghaib, apalagi tipu-tipu seperti yang dilakukan keluarga Cina, Akidi Tio . Itu angka nyata yang tercatat di pembukuan organisasi Islam yang didirikan oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan itu.

Belum lagi sumbangan dari warga NU, baik secara pribadi maupun disalurkan lewat organisasi di berbagai wilayah. Demikian juga ormas Islam lainnya, yaitu Persaudaraan Islam (Persis), Al Washliyah, Mathlaul Anwar, Front Persaudaraan Islam dan lainnya. Kalau sumbangan pribadi masing-masing umat Islam, jelas tidak terhitung. Bisa lebih dari Rp 2 triliun. Bahkan, bisa jadi mendekati Rp 11.000 triliun rupiah, angka yang ada di kantong Joko Widodo.

Belakangan sumbangan Cina itu ternyata bohong belaka dengan ditetapkannya sang anak penyumbang siluman menjadi tersangka karena membuat kegaduhan dan penghinaan terhadap negara.

Dosen rasialis itu pura-pura pikun. Apa yang pernah disanjung setinggi langit ternyata hoaks atau bohong kelas tinggi. Sang dosen juga tiba-tiba bego bahwa orang-orang Tionghoa di Indonesia-lah yang sesungguhnya makan duit rakyat paling banyak. Merekalah tukang tipu yang bersekongkol dengan pejabat bejat demi perut dan nafsunya. Mereka keruk duit orang Indonesia, bukan menyumbang.

Mereka para penyamun uang negara lewat Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Ada Sudono Salim mengeruk Rp 79 triliun, Honggo Wandratno korupsi Rp 37 triliun, Maria Pauline Lumowa korupsi Rp 1,9 triliun, Irawan Salim korupsi 500 ribu dolar AS (Amerika Serikat), Sudjiono Timan korupsi 126 juta dolar AS, Usman Admadjaja 35,6 triliun, Shemy Konjongiang 2,6 triliun, David Nusa Wijaya Rp 1,29 triliun, Samadikun Hartono Rp 169 miliar, Sjamsul Nursalim korupsi Rp 65,4 triliun. Ada Itjih Nursalim, Bambang Sutrisno, Hartati Murdaya, Hartono Tjahjadjaja, dan Eddy Sindoro.

Pasca Orde Baru ada Hendra Rahardja Rp 1 triliun, Sanyoto Tanuwidjaja, Djoko Tjandra, Anggoro Widjojo, Robert Dale, Lesmana Basuki, Tony Suherman, Dewi Tantular 3,11 triliun, Anton Tantular 3,11 triliun. Ada Sukanto Tanoto, dan masih ada koruptor China lagi yang lolos dari pengadilan. Para koruptor itu semuanya Tionghoa alias Cina alias Chinesse.

Paling anyar adalah dalam kasus korupsi Asuransi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri). Pada kasus yang masih bergulir di pengadilan itu ada Benny Handoko, Cina – anak almarhum Handoko. Benny Handoko adalah cucu perintis Batik Keris.

Sebelumnya, Ade Armando juga menulis di medsos bernada provokatif soal agama pemain bulu tangkis Anthoni Sinisuka Ginting pasca kemenangan menuju seminfinal Olimpiade Tokyo. “Eh Ginting itu Islam atau Kristen ? Ya Kristen laah…ooh”.

Ternyata setelah dijilat setinggi bulan oleh si dosen karena kekristenannya, Anthony Ginting gagal ke final tunggal putra badminton Olimpiade Tokyo 2021. Ia kalah 16-21, 11-21 dari Chen Long pada semifinal di Musashino Forest Sport Plaza, Tokyo, Jepang.

Padahal menang dan kalah tidak ada kaitannya dengan agama. Hanya saja karena si dosen orang yang mudah haru dan mewek, ia terlalu cepat memuja Anthony Ginting yang Kristen. Pesan yang ingin disampaikan oleh si dosen sinting itu adalah, tidak ada muslim yang berprestasi yang ada hanya Kristen.

Cuitannya mengenai agama Ginting yang Kristen pun mendapatkan cacian dari netizen. Tidak hanya orang Islam. Bahkan, yang beragama Kristen pun menghujat sang dosen yang sedang “sakit jiwa” itu.

Ini pelanggaran berat bagi keutuhan NKRI. Ia dengan sengaja telah memperuncing dan memancing persoalan sensitif secara terang- benderang. Ia terus memprovokasi di media sosial. Bukan sekali dan dua kali saja ia berulah. Anehnya, ia aman-aman saja.

Seorang pendidik mengeksploitasi persoalan SARA (Suku, Agama, Ras dan Anti-golongan) di muka umum adalah sifat kekanak-kanakan yang tidak pantas, tidak elok, tidak beretika, dan tidak bermoral. Bukan hanya itu, ia menantang secara radikal muslim pribumi untuk melawan – mungkin dengan kekerasan. Beruntung umat Islam memiliki kesabaran yang luar biasa. Mereka tetap tenang.

Beberapa minggu belakangan si dosen juga menunjukkan sikapnya yang naif dan memalukan. Ia merendahkan Ketua BEM UI dengan tuduhan masuk lewat jalur nyogok. Kelainan jiwa sang dosen sesunggguhnya sudah semakin nyata. Beberapa gejala yang dialaminya yaitu kepercayaan diri yang rendah, insecurity, ketidakmampuannya mencapai suatu tujuan, mudah menyerah, adanya keinginan menarik diri dari situasi sosial, sering merasa murung, serta mengalami kekhawatiran dan depresi.

Polisi harus segera bertindak. Sang dosen telah melanggar hukum dengan menciptakan kegaduhan dan mengusik persoalan SARA. Umat Islam juga harus punya keberanian membereskan manusia yang selalu membangun narasi permusuhan.

Hal itu semua menunjukkan manusia yang mengidap inferiority complex. Berbahaya sekali. Jika inferiority complex itu hanya menjangkiti diri sendiri, tidak masalah. Akan tetapi, jika “penyakit” tersebut berpengaruh pada keputusan-keputusan dan kebijakan negara, maka akan sangat berbahaya.

Sangat mungkin negara ini juga menderita inferiority complex. Sebab, sang dosen kabarnya menjadi buzzer istana. (fnn)